Dibalik Sosok Menyeramkan

Tidak ada yang mendekatiku.
Tidak ada yang bersamaku.
Tidak ada yang menemaniku.

Semenjak aku pindah ke sekolah ini beberapa bulan yang lalu, aku belum pernah bermain dengan siapapun. Tertawa, bercanda, bermain bersama kalian, itulah yang kuinginkan. Tapi, tidak ada yang mau bermain denganku. Ingin rasanya ku mencobanya, meskipun hanya sekali.

Pernah sekali, aku menghampiri teman-teman sekelasku yang sedang berkumpul. Aku mendekati mereka dengan perlahan. Saat ku melihat dari belakang, teman-temanku tengah asik menonton film horor dari laptop. Filmnya seru dan menegangkan. Aku pun menikmatinya bersama mereka.

Saat filmnya habis, mereka saling berbincang tentang film tersebut. Terdengar sedikit ketakutan, kepuasan, dan tawaan di telingaku dari percakapan mereka. Saat salah satu dari mereka melihatku, wajahnya berubah menjadi pucat. Aku melihat rasa ketakutan keluar dari dirinya. Aneh sekali. "Ha, ha, hantu!!!...", teriak orang itu seraya berlari kabur dengan teman-teman yang lain. Aku hanya terdiam.

Mengapa mereka mengatakan aku seperti itu?. Apa hanya karena rambutku yang terurai menutupi wajah?. Aku bukanlah tipe orang yang banyak berbicara. Apa karena itu mereka melihatku seperti hantu?.

Kepala ini terasa berat saat memikirkan kejadian itu. Langkah kecil ini terlampau jauh untuk sampai ke tujuan. Aku ingin menangis, menitihkan air mata kesedihan yang selama ini kupendam. Sendiri, di tempat sepi, yang disebut kamar mandi.

Tapi, hari ini berkata lain. Aku dipertemukan dengan teman sekelasku yang lain. Dia amat polos, senang bermain, dan sedikit seperti anak kecil. Meski begitu, hatinya sangat tulus dan murni. Kebaikan seolah mengalir dari sana.

"Apa yang kamu lakukan di sana?. Sebentar lagi pelajaran akan dimulai.", tanya anak itu.

Sebuah pertanyaan, yang tidak perlu dijawab. Apapun jawaban yang kita berikan, pasti tidak akan berarti bagi si penanya. Namun kali ini, aku ingin menjawab. Baru kali ini ada orang yang bertanya padaku, dan membuatku senang.

"Kamu, tidak takut padaku?.".
"Untuk apa takut?. Kamu itu kan temanku, ayo kita masuk ke kelas!.".

Dia mengambil sapu tangan miliknya dan mengelap wajahku yang kebasahan setelah kurendam lama dalam wastafel. Lalu dia menggandengku, dan kita beraama-sama keluar dari ruangan itu. Sejak kejadian tersebut, aku memang lebih lama berada di wastafel dibanding di kelas. Aku tidak mau membuat teman-temanku takut lagi karena penampilanku.

"Nama kamu siapa?.", tanya polos anak itu.
"Aku Inara.".
"Berarti, kita sekelas, ya?!. Aku Ruina.".

Ruina, dari awal aku pindah aku hanya sekali melihatnya di kelas saat istirahat. Itupun saat dia sedang terkena demam. Dia sangat suka bermain mengelilingi sekolah bersama temannya. Entah kenapa, hari ini dia tidak bersamanya dan malah bersamaku.

"Ruina, teman yang biasa menemanimu, kemana?.", tanyaku penasaran.
"Ada di sini.", dengan menggandengku lebih erat.
"Bukan aku. Maksudku saat kamu bermain di sekitar sini.".
"Rindika?. Hari ini dia tidak masuk. Dia sedang sakit.", jawabnya.

Keheningan pun dimulai. Aku tidak tahu harus apa lagi. Aku tidak pandai berbicara dengan orang. Karena hal ini, aku pun menjadi semakin seram dan dijauhi teman-teman. Hingga pada akhirnya, aku dan Ruina, sampai di kelas.

"Ru, Ru, Ruina, kamu bersama siapa ke sini?.", tanya salah satu teman di kelas.
"Dia Inara, teman sekelas kita juga kan?.", jawab Ruina. "Ayo Inara!.".
"Ya.".

Dia membawaku ke tempat duduknya. Perlahan, aku dan dia duduk bersebelahan. "Wah, seram, ya?!.". "Kenapa Ruina bermain bersama hantu?.". Seisi kelas sedang membicarakan kami. Ruina pun mendengar hal yang sama denganku.

"Inara, kenapa teman-teman sekelas takut kepadamu?.", tanyanya penasaran.
"Aku, tidak tahu.", jawabku, yang hampir meneteskan air mata.
"Apa karena penampilanmu, ya?!.".

Aku lagi-lagi terdiam. Apa Ruina akan menjauhiku seperti mereka. Padahal, dia yang pertama berani bertanya padaku. Aku tidak ingin dia menjadi seperti mereka. Aku sudah senang bersamanya.

Saat aku memikirkan tentang dirinya, dia sibuk dengan tas miliknya. Tangan kecilnya masuk ke tas yang terlalu besar baginya menurutku. Tangannya merogoh seisi tas seperti tengah mencari sesuatu yang kecil. Saat tangannya naik ke permukaan...

"Ini dia, karet.", sambil memegangnya.
"Apa yang mau kamu lakukan dengan itu?.", tanyaku.
"Dari tadi, aku belum melihat wajahmu yang tertutup rambut. Jadi kupikir...".

Dia mengambil sedikit rambutku, memasukkannya ke karet, dan mengikatnya serta menaruh ke salah satu sisi. Begitupun dengan sisi satunya, karena Ruina membawa 2 karet. Saat Ruina melakukannya, teman-teman sekelasku melihat ke arah sini. Bukannya rasa takut yang terlihat seperti biasanya, tapi kali ini, mereka semua terlihat sangat keheranan.

"Nah, sudah selesai. Sekarang aku bisa melihat wajahmu Inara.", katanya setelah Ruina menata rambutku.
"Terima kasih.", reaksiku datar.
"Wah, cantiknya.".
"Ya, kamu benar.".

Reaksi mereka berbeda saat melihatku sekarang dengan saat pertama kali aku masuk. Kini, terlihat senyum di bibir mereka dibanding kerutan di dahi saat mereka takut melihatku.

"Teman-teman juga tidak takut lagi melihatmu.", ucap Ruina.
"Ya.".

Tak lama berselang, pelajaran dimulai.  Ini adalah pelajarannya wali kelas. Satu per satu, nama kami diabsen. Saat tiba giliranku...

"Inara.".
"Hadir.".
"Loh, kamu siapa?.", tanya wali kelasku yang keheranan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Terserah atau Seterah ?

Proto Melayu Dan Deutro Melayu